Fenomena Literasi di Era Digital: Kemudahan yang Berisiko Menyesatkan
- 11 February 2025 15:36
- Yolency
- Umum,
- 29
Tubankab - Literasi masyarakat di era digital mengalami perubahan signifikan seiring dengan semakin mudahnya akses informasi melalui internet dan platform digital. Namun, kemudahan ini tidak selalu membawa dampak positif, justru berpotensi menyesatkan jika tidak diimbangi dengan literasi yang baik.
Hal tersebut disampaikan oleh Kaprodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Unirow Tuban, Yunita Suryani, M.Pd., dalam program Ekspansi Radio Pradya Suara mengenai fenomena literasi digital, Selasa (11/02).
Menurut Yunita, saat ini masyarakat cenderung menggantungkan informasi dari internet tanpa melakukan verifikasi. "Di mana pun kita berada, akses internet selalu tersedia dan mempermudah kita. Namun, kemudahan itu sering kali membuat masyarakat terlena dan kurang kritis dalam memilah informasi," ujarnya.
Ia mencontohkan bagaimana masyarakat mudah percaya pada informasi yang tersebar di media sosial tanpa melakukan pengecekan lebih lanjut.
"Saya sendiri pernah mencoba resep yang beredar di internet, yang katanya kacang hijau bisa dijadikan popcorn. Ternyata setelah saya coba, hasilnya tidak sesuai dengan yang diinformasikan. Hal-hal seperti ini menunjukkan bahwa tidak semua informasi di internet bisa dipercaya begitu saja," tuturnya.
Dikatakan perempuan berhijab itu, pada dunia akademik, tren literasi digital juga mengalami tantangan tersendiri. Ia mengungkapkan bahwa banyak mahasiswa yang terlalu mengandalkan kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI) dalam mencari referensi, tanpa melakukan pengecekan ulang terhadap kebenaran data yang diperoleh. "Saya pernah memasukkan kata kunci penelitian ke dalam AI, dan hasil yang muncul terlihat meyakinkan. Namun, setelah saya verifikasi dengan referensi yang valid, ternyata sebagian besar data yang diberikan AI tidak ditemukan di jurnal atau buku yang kredibel," jelasnya.
Kondisi ini menjadi perhatian khusus, imbuhnya, terutama bagi akademisi dan peneliti yang harus memastikan keakuratan data yang digunakan. "Kalau kita mempercayai informasi yang tidak benar dan menggunakannya sebagai referensi penelitian, maka akan semakin banyak kesalahan yang berkelanjutan," tambahnya.
Ketika ditanya perihal tantangan dalam meningkatkan literasi media, Yunita mengungkapkan bahwa salah satu tantangan utama dalam meningkatkan literasi digital adalah banyaknya informasi yang beredar tanpa adanya filterisasi yang jelas. Yunita mencontohkan fenomena masuknya pengguna ke dalam berbagai grup Telegram tanpa sepengetahuan mereka. "Banyak mahasiswa yang tiba-tiba tergabung dalam grup trading online, pinjaman online ilegal, atau bahkan grup yang menjanjikan cara instan untuk mendapatkan uang. Ini menunjukkan betapa mudahnya seseorang terjebak dalam informasi yang menyesatkan karena kurangnya literasi finansial dan pemahaman bahasa yang baik," paparnya.
Ia menegaskan bahwa literasi tidak hanya sekadar mampu mengakses informasi, tetapi juga harus bisa memahami, menganalisis, dan menerapkannya dengan bijak. "Bahkan dalam dunia akademik, mahasiswa yang hanya mengandalkan AI tanpa memahami materi secara langsung akan kesulitan ketika harus mempresentasikan hasil penelitian mereka," ujarnya.
Lebih lanjut, mengenai implikasi dari rendahnya literasi informasi dapat berdampak luas pada berbagai aspek kehidupan. Yunita menyebutkan bahwa banyak generasi muda yang semakin malas membaca buku dan hanya mengandalkan informasi dari internet secara mentah-mentah. "Ketika mereka hanya mengandalkan informasi dari AI atau media sosial tanpa klarifikasi, mereka tidak benar-benar memahami konsep yang dipelajari. Ini menjadi bumerang bagi mereka, terutama saat harus mempertanggungjawabkan informasi tersebut dalam diskusi atau presentasi," ungkapnya. (yavid rp/hei)