GERABAH KARANG, JANGAN SAMPAI TINGGAL KENANGAN

  • 03 March 2016 11:24
  • Yolency
  • Umum,
  • 1677

Tubankab - Kerajinan gerabah di Keluarahan Karang, Kecamatan Semanding usianya sudah puluhan tahun. Akan tetapi, sebagian besar nasib para pengrajinnya berjalan di tempat (stagnan). Bahkan, mereka kadang hidup dalam “cengkeraman” tengkulak. Sementara, belum ada yang bersedia menjadi “dewa penolong”. Berikut laporannya.

Seorang nenek sedang duduk bersimpuh di depan perbot (semacam dulang berbentuk lingkaran). Sekepal adonan tanah liat di genggaman tangan, dia letakkan di tengahnya. Sebelah kakinya kemudian mengais pinggiran perbot, sehingga benda tersebut berputar pada porosnya. Kedua tangan nenek tersebut dengan terampil membentuk adonan lempung yang ikut berputar. Sesekali dia mencelupkan tanganya ke kaleng berisi air, lalu kembali meneruskan aktivitasnya.Tak lama kemudian, lempung di tengah perbot itu menjelma menjadi kuali kecil. Dia mencongkelnya dari perbot, lantas menjemurnya di emperan rumahnya.

Demikanlah rutinitas Asih (56), salah seorang pengrajin gerabah di Kelurahan Karang, Kecamatan Semanding, Kabupaten Tuban, saat ditemui reporter Tubankab, Kamis(03/03).Mbah Asih tidak sendirian, sedikitnya ada puluhan pengrajin di desa setempat.

Seperti halnya Asih, mereka mewarisi ketrampilan tersebut secara turun temurun. Produk yang dihasilkan pun tidak berbeda jauh dengan produk nenek moyang mereka, yaitu sebangsa cowek, ngaron, kuali, dan perabotan rumah tangga lainnya. “Dulu ada yang membuat genteng dan batu bata. Namun, produksi itu akhirnya terhenti akibat kekurangan bahan baku dan modal,’’ tutur Asih.

Di antara jenis gerabah, kuali kecil paling banyak diproduksi oleh pengrajin karang. Gerabah tersebut umumnya digunakan sebagai tempat penyimpanan ikan pindang. Pemasaran kuali karang adalah daerah pantai, terutama Kelurahan Karangsari, Kecamatan Tuban dan Desa Karang Agung, Kecamatan Palang. Sekali pengiriman (angkut) bisa mencapai 5.000 buah kuali. Sayangnya produktivitas yang tinggi tersebut tidak disertai dengan kesejahteraan para pengrajinnya.

Menurut penuturan Jasmin, pengrajin gerabah lainnya, para pengrajin gerabah Karang sering kali dijerat tengkulak dengan sistem ijon. Tengkulak sudah biasa meminjamkan uang yang pengembaliannya dirupakan gerabah. Tentu saja, harga yang ditetapkan tengkulak seminim mungkin, sedangkan mereka menjualnya kembali dengan harga dua kali lipat. “Mau gimana lagi. Kami butuh makan.Sedangkan, mereka (tengkulak) yang bersedia memberikan pinjaman,’’ keluh wanita murah senyum ini.

Jasmin mengilustrasikan, seorang pengrajin dalam sepuluh hari mampu menghasilkan 1.000 kuali kecil. Oleh tengkulak, per kuali dihargai Rp. 500. Sehingga total penerimaan sebesar Rp. 500.000. Sementara untuk memproduksi 1.000 kuali, pengrajin menghabiskan biaya produksi mencapai Rp. 400.000, seperti membeli tanah liat, kulit kacang, serabut kelapa serta tukang injak adonan gerabah. Dengan demikian penghasilan pengrajin selama 10 hari tak lebih dari Rp. 100.000. Bila biaya pembuatan ikut dikalkulasi, pengrajin gerabah pada dasarnya sama dengan kerja bakti.

“Kalau dihitung kadang nggak nyucuk dengan modal yang dikeluarkan. Tapi, wong gimana lagi, ini merupakan pekerjaan yang harus dijalani. Apalagi, kami punya keluarga. Meski kadang hanya untung sedikit, mesti disyukuri,’’ tukasnya.

Pekerjaan membuat gerabah bagi kaum wanita di desa setempat, merupakan pekerjaan yang dilakukan untuk membantu suaminya. Sebab, penghasilan suami kadang tidak mencukupi untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Karena itulah, mereka mencoba meringankan beban suaminya dengan bekerja menjadi pengrajin gerabah.

Di lain pihak, tengkulak menangguk keuntungan besar lantaran per kuali bisa dijual dengan harga Rp. 1.500. Bahkan, bisa menembus Rp. 1.700 per kuali. Melihat minimnya penghasilan mereka, tidak aneh bila generasi muda Kelurahan Karang enggan membuat gerabah. Mereka umumnya bekerja di sektor informal di luar kota. Di antara puluhan pengrajin gerabah, 90 persen adalah glongan manula, terutama kaum ibu.

Dan lagi, banyak di antara mereka yang enggan melanjutkan profesi orang tuanya karena pekerjaan tersebut sangat membosankan dan badan atau bagian tubuh tak lepas dari kotoran. Akibatnya, mereka segan mewarisi pekerjaan orang tuanya. “Capek dan membosankan,’’ kata salah seorang pemuda setempat yang masih menganggur dan enggan membantu orang tuanya.

Karena minimnya modal yang dimiliki, sampai sekarang para pengrajin masih berkutat pada model gerabah tradisional. Kalau ada pengrajin yang membuat vas bunga atau hiasan lainnya, biasanya atas dasar pesanan. “Harganya memang sedikit mahal, tapi tidak ajeg,’’ tukas Lasih, seorang pengrajin lainnya.

Tak pelak, gerabah Karang hanya tinggal kenagan bila kondisinya seperti ini. Dan ini akan bisa menjadi sebuah cerita anak cucu kelak bahwa di tempat itu pernah menjadi sentra gerabah. “Nantinya akan menjadi kenangan saja. Kalau toh bisa bertahan, paling hanya untuk mempertahankan hidup,’’ pungkasnya. (wan/hei)

comments powered by Disqus