PROGRAM INOVASI; KAWASAN SENTRA PRODUK AGRO KREATIF TERPADU
- 02 September 2016 14:05
- Heri S
- Umum,
- 978
Kawasan sentra produksi agro-kreatif terpadu (Kasepta) adalah sistem yang berfokus pada peningkatan produktivitas pertanian dengan meningkatkan diversifikasi, integrasi sumber daya dan menciptakan jaringan pasar. Program ini mulai diinisiasi sejak November 2014 di desa Tegalrejo, Kecamatan Merakurak, melalui Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT).
Ketahanan dan keamanan pangan adalah salah satu masalah krusial yang dihadapi masyarakat dunia termasuk bangsa Indonesia. Salah satu pokok permasalahan yang dihadapi adalah bagaimana program-program pembangunan dapat mendorong penyediaan pangan yang berkualitas dan aman dalam jumlah cukup untuk masyarakat. Program - program pembangungan ini pada saat bersamaan seharusnya juga bisa mengoptimalkan potensi sumber daya alam yang ada di suatu daerah.
Dalam pengembangan sumber daya alam yang berhubungan dengan bidang agro-kompleks (pertanian, peternakan, perikanan), program pembangunan seharusnya bisa memberdayakan masyarakat terutama petani dan peternak skala kecil. Selama ini beberapa permasalahan utama yang dihadapi oleh petani dan peternak skala kecil ini, antara lain adalah biaya produksi terutama pakan dan pupuk yang tinggi, penggunaan bahan-bahan kimia yang tidak saja menurunkan kualitas dan keamaan hasil panen tapi juga merusak tanah secara perlahan, dan ketergantungan kepada harga pasar yang berfluktuatif. Tantangan untuk para petani dan peternak skala kecil ini semakin meningkat pula seiring dengan akan diberlakukannya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) mulai akhir tahun 2015 ini.
Untuk itu, diperlukan program pembangungan dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat terutama petani dan peternak skala kecil yang tidak hanya akan memperkuat pengetahuan teknis keagro-komplekan mereka, tapi juga menyiapkan kekuatan dan kemandirian mereka dalam memenuhi kebutuhan produksi ataupun kehidupan mereka. Program ini juga seharusnya bisa mengoptimalkan potensi daerah yang pada akhirnya juga meningkatkan PAD. Peningkatan PAD ataupun kemanfaatan dari segi ekonomi dan sosial kemasyarakatan juga tidak boleh meninggalkan kepentingan dari sisi ekologi, sehingga program yang dilaksanakan merupakan program yang mengintegrasikan antara kepentingan ekonomi, sosial kemasyarakatan ataupun ekologi.
Perjalanan Menuju Kesejahteraan
Bidang Ekonomi, Administrasi, Pembangunan dan Kesra Kabupaten Tuban, sejak tahun 2014 melakukan sebuah program yang berorientasi jangka panjang untuk membentuk kawasan agro-kompleks (pertanian, peternakan, perikanan) yang terintegrasi secara mandiri dengan memanfaatkan potensi lokal yang tersedia. Penerjemahan ide program ini bisa diwujudkan dalam bentuk pembangunan kawasan sentra produksi terpadu agro-kreatif (Kasepta) di sentra-sentra pertanian dan atau peternakan di Kabupaten Tuban.
Pendekatan yang dilaksanakan pada program ini adalah mencoba untuk meniru prinsip alam, di mana tidak hanya tanaman tetapi, beragam jenis tanaman, hewan, burung, ikan dan tumbuhan air lainnya serta fauna yang digunakan untuk produksi. Hal Ini digabungkan dengan cara dan proporsi yang setiap elemen membantu lainnya seperti ; limbah dari satu didaur ulang sebagai sumber daya untuk lainnya.
Prinsip dasar adalah meningkatkan keragaman sumber pendapatan keluarga petani berdasarkan optimalisasi keragaman sumber daya ekologi, sehingga total area yang tersedia secara efektif digunakan dan ada tingkat interaksi yang tinggi antara komponen biotik dan abiotik ; dengan mengintegrasikan subsistem di mana berbagai komponen berinteraksi secara positif, sehingga produktivitas pertanian secara keseluruhan meningkat.
Kasepta adalah sistem padat karya, sehingga melibatkan keluarga petani produktif di lahan mereka sendiri, sepanjang tahun. Kasepta akan menyebabkan upaya kolektif antara petani seperti pembelian kolektif input dan pemasaran kolektif menghasilkan, sehingga mengurangi biaya produksi mereka.
Program ini secara “embrionik” mulai dilakukan di desa Tegalrejo, Kecamatan Merakurak, Kabupaten Tuban dengan penerima manfaat adalah kelompok masyarakat (Pokmas) Banawa Sekar. Stimulan yang diberikan terdiri dari 1 unit biodigester kapasitas 30 m3, 1 set mesin pembuat pakan yang terdiri dari mixer, mesin penepung dan mesin pelet serta 3 unit kolam bundar diameter 3 meter beserta bibit ikan lele.
Skema kegiatan yang dikembangkan pada tahap awal ini adalah mengintegrasikan subsistem peternakan dalam hal ini sapi dengan subsistem perikanan dalam hal ini adalah budidaya ikan lele dengan memunculkan unit pembuatan pakan mandiri sebagai penghubung antara 2 subsistem tersebut. Formulasi pakan disusun dengan memanfaatkan lumpur organik biodigester (LOB).
Biogester kapasitas 30 m3 ini didesain untuk mengolah kotoran dari 15 ekor sapi. Gas metan yang dihasilkan dipergunakan sebagai sumber energi/ bahan bakar untuk memasak. Selain gas metan, hasil dari biodigester adalah limbah padat berupa lumpur organik dan limbah cair. Secara jangka panjang, pemanfaatan limbah biodigester diarahkan untuk pemenuhan pupuk organik bagi tanaman dan sebagai salah satu bahan baku pakan ikan. Pada tahap awal, fokus pemanfaatan LOB diarahkan sebagai bahan baku penyusun pakan ikan.
Untuk mendapatkan gambaran secara lebih nyata tentang potensi LOB untuk bahan pakan ikan alternatif, maka kandungan nutrisi dianalisa dalam kegiatan ini. Analisa ini dilakukan dengan mengujikan LOB ke laboratorium terakreditasi dan bereputasi baik. Dengan pertimbangan bahwa bentuk yang sangat mungkin digunakan untuk memanfaatkan lumpur organik biogas sebagai bahan pakan ikan adalah tepung LOB, maka LOB biogas dikeringkan dan dijadikan tepung dengan proses penghancuran manual.
Dari hasil analisa di atas didapati kalau lumpur organik biogas mempunyai kandungan nutrisi yang membuat bahan ini berpotensi untuk dijadikan sebagai bahan alternatif pakan ikan. Karbohidrat pada sludge ini tergolong sederhana, karena sudah melalui metabolisme tubuh sapi dan disgester, sehingga materi yang dihasilkan sudah mengalami hidrolisis biologis, kimia, dan fisika.
Usaha Pakan Mandiri
Unit pakan mandiri dimaksudkan untuk menghasilkan pakan ikan yang relatif murah dan berkualitas dalam rangka mengurangi biaya operasional pada budidaya ikan lele.
Pada tahap awal penyusunan formulasi pakan, kandungan LOB ditentukan sebesar 5 persen, sedangkan bahan baku lainnya terdiri dari tepung ikan, tepung jagung, dedak halus, ampas kecap dan kanji. Inovasi yang dikembangkan adalah dengan melakukan fermentasi pada bahan baku yang tujuan untuk menyederhanakan susunan nutrisi bahan baku (protein, lemak, karbohidrat) sehingga kecernaan dari pakan yang dihasilkan meningkat. Monitoring dilakukan tehadap kualitas pakan berdasarkan Feed Convertion Ratio (FCR) dan perubahan kualitas air selama proses budidaya.
Rata-rata FCR yang didapatkan adalah 1, yang berarti bahwa untuk menghasilkan 1 kg daging ikan dibutuhkan 1 kg pakan. Nilai ini setara dengan nilai FCR yang dihasilkan oleh pakan pabrikan yang ada selama ini. Upaya pengembangan formulasi pakan dilakukan dengan menngkatkan kandungan LOB dari 5 % menjadi 15 %.
Dari hasil uji laboratorium, kandungan protein dari pakan ikan yang diproduksi oleh Pokmas Banawa Sekar adalah sebesar 32,2 persen.
Usaha Pembesaran Ikan Lele
Usaha pembesaran ikan lele berangkat dari pengalaman buruk dari Pokmas Banawa Sekar. Banyak masalah yang dihadapi selama melakukan usaha sebelumnya, mulai dari tingkat kematian yang tinggi di awal tebar, serangan penyakit, bobot ikan kurang saat panen sampai harga panen yang rendah akibat permainan tengkulak. Intervensi program diarahkan untuk menjawab persoalan-persoalan yang selama ini dihadapi oleh kelompok secara bertahap.
Pendampingan teknis dilakukan mulai dari persiapan air kolam sebelum tebar, teknik penebaran bibit yang baik, cara pemberian pakan, pemeliharaan kualitas air, pencegahan hama dan penyakit sampai teknik pemanenan. Manajemen teknis pembesaran ikan ditentukan oleh kondisi hara pada sumber air, iklim setempat, kualitas bibit dan kualitas pakan yang diberikan. Oleh karena itu, suatu sistem manajemen teknis budidaya tidaklah sama antara satu daerah dengan daerah lainnya.
Setelah melalui beberapa siklus panen, Pokmas Banawa Sekar mampu merumuskan cara pengelolaan budidaya ikan yang baku atau standart operational procedure (SOP) budidaya ikan untuk menjamin keberhasilan usaha.
Pertumbuhan Usaha Kelompok dan Anggota Kelompok
Munculnya Usaha Pendederan Ikan Lele
Setelah melewati beberapa siklus panen, dapat disimpulkan bahwa resiko kematian terbesar pada usaha pembesaran ikan lelel adalah pada fase 30 hari pertama setelah penebaran bibit. Bibit yang ditebar adalah ukuran 5-7 cm. Resiko kematian akan menurun dratis setelah bibit mencapai ukuran di atas 9-10 cm. Tingkat pengetahuan dan keterampilan budidaya ikan dari para pelaku usaha sangatlah menentukan melewati fase kritis tersebut.
Untuk meningkatkan keberhasilan usaha dan mempercepat masa produksi, maka Pokmas Banawa Sekar melakukan usaha pendederan ikan sejak Februari 2015. Pada tahap ini, ikan dibesarkan dari ukuran 3-4 senti meter hingga mencapai ukuran 9-10 senti meter. Jumlah kolam pendederan hingga saat ini adalah 9 unit kolam dengan rincian 5 unit kolam ukuran 3 x 5 m dan 4 unit kolam ukuran 2 x 5 m. Kapasitas produksi 115.000 ekor bibit lele ukur 9-10 cm perbulan.
Berkembangnya Jumlah Pelaku Usaha dan Jumlah Kolam
Pembelajaran Pokmas Banawa Sekar di bidang usaha pembesaran ikan lele mulai bulan Nopember 2014 sampai dengan bulan Februari 2015, menghasilkan kesimpulan sebagai berikut :
- Padat tebar yang aman adalah 200 ekor per m2 dengan ukur bibit 9-10 cm bagi pembudidaya pemula.
- Penggunaan pakan pabrik (ukur 1 mm dan 2 mm) sebesar 30 persen, sedangkan pakan mandiri (ukur 3 mm) sebesar 30 persen.
- Manajemen air dan pakan harus sesuai dengan ketentuan yang telah dibakukan
- FCR 0,9 – 1
- Tingkat kelangsungan hidup 90 - 98 persen.
- Rata-rata keuntungan bersih usaha pembesaran adalah sebesar Rp. 350.000,- per 1000 ekor bibit.
Berdasarkan pengalaman tersebut, maka sejak bulan Maret 2014, Pokmas Banawa Sekar membuka pengembangan usaha di bidang pembesaran ikan lele. Selain Desa Tegalrejo, Kecamatan Merakurak, pengembangan juga dilakukan di Desa Sugiharjp dan Sumurgung Kecamatan Tuban. Hingga Desember 2015, jumlah keselurahan kolam sebanyak 78 unit kolam. Dari 78 kolam tersebut, 65 kolam merupakan kolam baru. Sedangkan jumlah pelaku usaha (anggota ) sebanyak 25 orang di mana penyediaan kolam, bibit, pakan, obat-obatan dan pemasaran hasil panen dilakukan oleh kelompok.
Di samping itu, hingga Desember 2015, tercatat sebanyak 9 orang pembudidaya di luar kelompok dengan total jumlah kolam sebanyak 44 kolam membeli bibit secara rutin. Jumlah bibit sebesar 133.500 ekor dengan nilai transaksi sebesar Rp. 26.700.000,-.
Peningkatan Pendapatan Keluarga Petani
Berdasarkan analisa usaha pada lampiran 3, maka dengan ukuran kolam 15 m2 dan padat tebar 200 ekor/m2 dapat disimpulkan bahwa penghasilan rata-rata dari petani dari subsistem perikanan setiap dua bulan adalah sebesar Rp. 1.074.950,- (keuntungan ditambah tenaga kerja sendiri) atau 537.475,- per bulan per kolam.
Jika UMR kabupaten Tuban adalah sebesar Rp. 1.575.500,-, maka dibutuhkan minimal 3 kolam 15 m2 untuk setiap petani, agar bisa mencapai penghasilan sama dengan atau di atas UMR.
Dilihat dari perkembangan nilai perputaran uang, dimulai pada Nopember 2014 dengan 3 unit kolam diameter 3 meter dengan nilai perputaran uang sebesar Rp. 6.800.000,- menjadi Rp. 243.732.400,- atau sebesar 5.104 persen.
Upaya untuk mengoptimalkan sumberdaya hayati antara subsistem yang ada pada sistem Agrokomplek (Pertanian, Peternakan dan Perikanan) dilakukan dengan menerapkan teknologi aquaponik pada pertanian hortikultura.
Air kolam yang kaya dengan unsur nitogen (N) dan unsur hara lainnya dimanfaatkan sebagai pupuk organik pada budidaya sayur mayur. Lokasi pengembangan aquaponik berada di Desa Sumurgung, Kecamatan Tuban. Selain dikomsumsi sendiri, sayuran hasil panen juga dijual ke pasar terdekat. Penambahan penghasilan dari usaha budidaya sawi dengan sistem aquaponik ini berkisar antara Rp. 5.000,- sampai Rp. 10.000, - per hari.
Program pengembangan Kasepta telah berkembang baik dari sisi lokasi maupun dari sisi integrasi antarsubsistem. Jika pada tahun sebelumnya, fokus kegiatan dititikberatkan pada subsistem perikanan, maka pada 2016, fokus program diarahkan pada subsistem peternakan dan subsistem pertanian dan selanjutnya bisa dikembangkan pada kecamatan atau desa sesuai potensi yang dimiliki.
*Penulis adalah Ir. Amenan, MT, Kabag Ekonomi, Administrasi, Pembangunan dan Kesra, Setda Tuban