BILA PROFESI TAK ADA YANG MEWARISI

  • 22 February 2016 11:21
  • Yolency
  • Umum,
  • 1564

Tubankab - Pande besi di Kabupaten Tuban, dulunya dikenal cukup banyak cacahnya. Namun, seiring dengan perputaran waktu dan roda zaman, kini tinggal hitungan jari yang mampu bertahan dan mencoba menghadapi tantangan modernisasi.Berikut laporannya.

Dua pria paruh baya itu sedang menempa besi yang baru saja dipanaskan dari tungku api. Ditempanya keras-keras besi tersebut dengan martil cukup besar, sehingga memekikkan telinga. Lempengan besi tersebut sesekali memercikkan api dan terasa panas, apabila terkena bagian tubuh. Namun, kedua orang tersebut tak merasa kepanasan, lantaran sudah terbiasa. Sementara itu, dua rekan lainnya memotong kayu kecil-kecil dengan aneka ragam bentuk untuk dijadikan gagang atau tangkainya.

Itulah sekilas aktivitas pande besi di Kelurahan Sendangharjo,Kecamatan Kota Tuban yang hingga hingga kini masih bertahan. Para tukang pande membikin peralatan pertanian dan dapur, seperti sabit, pisau, cangkul sekaligus juga membuat tangkainya.

Namun, kini keberadaan pande besi di tempat tersebut kian waktu kian berkurang atau sulit untuk berkembang lagi. Menurut sejumlah pekerja, pande besi di tempat tersebut sudah ada sejak zaman dahulu.Akan tetapi, tidak tahu siapa yang kali pertama “mempopulerkan” pekerjaan yang selalu menguras tenaga dan bersimbah peluh itu. Demikian juga, pada tahun berapa pande besi tersebut mulai ada. Yang jelas, sejak tahun 60-an sudah ada aktivitas di kelurahan setempat.

Di era tersebut, jumlah pande besi masih cukup banyak. Banyak pula pemesan berbagai peralatan, seperti pisau, sabit, cangkul dan lain-lain. Pembelinya pun tak datang dari Tuban, tetapi juga berasal dari luar daerah, karena ingin memiliki buah karya “sang empu” pembuat benda-benda bermanfaat tersebut.

Menariknya, aktivitas pande besi dulunya merupakan pekerjaan sehari-hari dan dijadikan sebagai mata pencaharian tetap. Pekerjaan tersebut mampu mencukupi kebutuhan keluarga. Bahkan, “menggantungkan” hidup dari tempaan–tempaan besi itu. Kelurahan ini dulunya sempat dijuluki “kelurahan pande”, karena banyak warga sekitar yang menekuni profesi itu. Meskipun demikian, bukan berarti tak ada yang menekuni profesi lain. Banyak juga warga sekitar yang menjadi PNS, pedagang dan pengusaha. Bahkan, ada juga yang pernah menjadi ketua dewan hingga bupati.

Memasuki tahun 90-an hingga sekarang, sedikit demi sedikit, kegiatan pande besi mulai memudar. Seakan-akan aktvitas tersebut menghilang dari peredaran seiring dengan meninggalnya para pekerja yang sudah dimakan usia atau terkena serangan penyakit. Akibatnya, aktivitas menyusut. Ironisnya, generasi penerus pande besi tak kunjung muncul kepermukaan. Konon, mereka enggan meneruskan aktivitas tersebut, karena pekerjaan itu dianggap terlalu berat untuk dijalani. Pekerjaan ini benar-benar membutuhkan tenaga ekstra dan sangat melelahkan. Bayangkan, untuk memulai aktvitas, pekerja harus menyalakan api dulu dengan arang yang diletakkan di sebuah tungku. Api tersebut tak akan pernah menyala tanpa dibantu dengan alat yang bernama ubub (semacam alat yang digunakan untuk membantu menyalakan api). Padahal untuk menyalakan api dengan ubub, tidaklah ringan, karena butuh tenaga yang cukup kuat. Demikian juga, ketika menempa lempengan besi yang dibentuk sedemikian rupa dan tentu pula membutuhkan tenaga ekstra. Selain itu, pekerja harus membuat pegangan dari alat tersebut yang juga butuh waktu relatif lama. Selain memotongi kayu untuk tangkainya, juga harus menghaluskannya, sehingga alat tersebut bisa digunakan dengan baik dan tidak membahayakan bagi pemakainya.

Barang kali, hal-hal seperti itu yang membuat generasi muda setempat enggan meneruskan “warisan” nenek moyangnya. Mereka juga enggan berkutat dengan debu dan api atau asap yang juga bisa membahayakan kesehatannya. Akibatnya, anak-anak tukang pande besi lebih memilih mencari pekerjaan lain yang lebih menjanjikan. Misalnya, polisi, tentara atau berbinis. Mereka juga beranggapan bahwa pekerjaan tersebut kadang tak sumbut bila dibandingkan dengan tenaga, waktu dan modal yang dikeluarkan.Mereka bekerja karena tak ada pilihan dan terdesak kebutuhan ekonomi.

Budi, anak seorang mantan tukang pande besi mengatakan, banyak hal yang membuat anak para tukang pande tak ingin meneruskan profesi “leluhurnya”. Salah satunya, alat produksi yang dihasilkan para pekerja kalah bersaing dengan buatan pabrik. Buatan pabrik lebih murah dan halus, namun soal ketajamannya, memang buatan pande lebih baik dibanding buatan pabrik.

Selain itu, tukang pande besi juga kesulitan memasarkannya. Akibatnya, mereka berproduksi ketika ada pesanan. Kalau tidak ada pesanan, mereka nganggur, karena takut rugi apabila nekat membuatnya.

Hal yang sama juga dilontarkan Suharso. Dia tidak ingin mewarisi peninggalan orang tuanya karena dianggap tidak menarik sama sekali. Selain itu, dia juga tidak berbakat menjalani profesi tersebut.”Selain enggak senang, juga tidak berbakat menjadi tukang pande besi,’ ujar pria yang kini bekerja di sebuah perusahaan swasta di Surabaya.

Lain halnya dengan Yanto. Pria berambut lurus ini tampaknya lebih memilih jejak orang tuanya karena tak ingin “warisan” yang ditinggal orang tuanya tersebut mangkrak. Karena itu, tempat dan segala peralatan untuk membuat peralatan dapur dan pertanian tetap digunakannya dengan baik dan tentu dijaga dan dirawatnya.”Saya ingin meneruskan keahlian orang tua. Ingin bersaing dengan pabrik,’’ ujar Yanto, salah seorang pande besi asal Kecamatan Merakurak ini, bangga.(wan/hei)

comments powered by Disqus