Foto : Zoom meeting Cerdas Digital Kelas Sinergi. (ist)

Cerdig Kelas Sinergi: Etika Komunikasi Jadi Nafas Baru Birokrasi Digital

Tubankab — Di era digital yang serba cepat dan terbuka, birokrasi dituntut tidak hanya tangkas dalam pelayanan, tapi juga cermat dan etis dalam berkomunikasi. Tantangan ini menjadi sorotan utama dalam kegiatan Cerdig (Cerdas Digital) Kelas Sinergi: Etika Komunikasi Birokrasi yang diselenggarakan oleh Dinas Komunikasi dan Informatika Provinsi Jawa Timur bekerja sama dengan Sinergi Bicara, Sabtu, 28 Juni 2025, secara daring melalui Zoom Meeting, diikuti Pengelola Media Sosial dan KIP OPD Pemprov dan Kabupaten Kota se-Jatim.

Acara ini menghadirkan tiga pembicara utama yakni Sherlita Ratna Dewi Agustin, S.Si., M.IP., Kepala Diskominfo Jatim sebagai keynote speaker; Dr. Usman Kansong, S.Sos., M.Si., pakar komunikasi dan Dirjen Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Kominfo RI 2021–2024; serta Yudi K. Akbar, S.E., M.M., ASN sekaligus public speaker.

Dalam sambutannya, Sherlita mengungkapkan bahwa tren penggunaan internet di Jawa Timur terus meningkat tajam. Berdasarkan data terbaru Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), tingkat penetrasi internet di wilayah ini telah mencapai 81,79 persen. Hal ini menurutnya menjadi tantangan sekaligus peluang besar bagi birokrasi.

“Dengan meningkatnya akses internet, ekspektasi publik juga meningkat. Mereka tidak hanya menuntut informasi yang cepat, tapi juga yang jujur, jelas, dan bisa dipercaya. Komunikasi birokrasi tidak bisa lagi bersifat satu arah. ASN harus cakap digital dan cerdas secara etis,” tegas Sherlita.

Etika, menurut Sherlita, bukan sekadar aturan, tapi menjadi pondasi utama dalam membangun kepercayaan publik di era teknologi yang semakin kompleks, termasuk dalam menghadapi kehadiran kecerdasan buatan (AI) yang mengubah cara manusia berinteraksi.

Senada dengan itu, Dr. Usman Kansong menekankan bahwa keterbukaan merupakan inti dari etika komunikasi birokrasi. Bagi Usman, keterbukaan bukan hanya soal transparansi dalam menyampaikan informasi, tetapi juga soal membangun kolaborasi dan membuka ruang partisipasi masyarakat.

“Komunikasi birokrasi harus transparan, kolaboratif, dan partisipatif. Kalau tertutup, masyarakat akan menjauh. Kalau terbuka, kepercayaan akan tumbuh,” ujarnya.

Ia juga merujuk pada landasan normatif yang penting dipahami oleh setiap aparatur negara, yaitu Permenpan RB Nomor 30 Tahun 2011, yang mengatur nilai-nilai utama komunikasi birokrasi: keterbukaan, kejujuran, objektivitas, integritas, profesionalisme, akuntabilitas, dan etika moral.

Sementara itu, Yudi K. Akbar dalam paparannya menyoroti pentingnya pendekatan komunikasi dua arah yang simetris, sesuai dengan teori Grunig & Hunt. Menurutnya, komunikasi birokrasi saat ini tidak bisa lagi dijalankan dengan pola top-down yang kaku.

“Publik sekarang bukan sekadar pendengar. Mereka ingin didengar. Mereka ingin dialog, bukan sekadar disuruh. Kalau birokrasi ingin dipercaya, maka ia harus bersuara dengan empati, mendengarkan dengan hati,” ujar Yudi.

Ia juga menekankan pentingnya komunikasi yang strategis dan berbasis tujuan, sebagaimana diulas dalam teori Robbins. Pesan publik harus disampaikan dengan mempertimbangkan segmentasi audiens, disesuaikan dengan kebutuhan, dan dibingkai dalam semangat pelayanan.

Yudi tidak lupa menyinggung karakter budaya birokrasi Indonesia yang masih sarat dengan struktur hierarkis dan pola komunikasi high-context sebagaimana dikaji oleh Edward T. Hall maupun Hofstede. Menurutnya, ini menjadi tantangan tersendiri karena sering kali komunikasi menjadi terlalu formal dan menjauh dari rakyat. Maka transformasi gaya komunikasi yang lebih inklusif dan manusiawi menjadi mutlak.

Forum Cerdig Kelas Sinergi ini juga menyoroti realitas baru di lapangan, di mana dinamika digital seperti aktivisme media sosial, kampanye hashtag, viralitas isu, hingga persebaran hoaks dan disinformasi menjadi tekanan harian bagi institusi pemerintah. Para narasumber menegaskan bahwa birokrasi tidak boleh reaktif semata, tetapi harus memiliki strategi komunikasi yang proaktif, interaktif, dan terukur.

“Etika komunikasi birokrasi bukan soal menyusun kalimat sopan, tapi soal niat melayani,” pungkas Yudi dalam penutupnya.

Acara ini diikuti oleh ratusan peserta dari berbagai instansi pemerintahan di Jawa Timur. Mereka diajak untuk melihat komunikasi tidak hanya sebagai alat penyampaian informasi, tapi sebagai jembatan membangun kepercayaan, menjalin empati, dan memperkuat wibawa birokrasi di mata masyarakat digital masa kini. (dadang bs/hei)

comments powered by Disqus