Jelang Ramadan, Tradisi Megengan Jadi Momen Kebersamaan
- 22 February 2025 11:29
- Heri S
- Umum,
- 111
Tubankab – Megengan merupakan tradisi turun-temurun yang masih lestari di berbagai daerah, khususnya di Jawa Timur, termasuk Kabupaten Tuban. Menjelang bulan suci Ramadan, masyarakat menggelar doa bersama serta membagikan nasi berkat dan kue apem. Tradisi ini menjadi momen kebersamaan yang mempererat hubungan antarwarga.
Dina Susanti, warga Baturetno, Kecamatan Tuban, mengungkapkan bahwa setiap tahun ia bersama keluarganya selalu membuat berkat dan apem untuk dibagikan kepada tetangga. “Megengan ini bukan sekadar tradisi, tapi juga bentuk kebersamaan. Kami biasanya membuat makanan, termasuk apem, bersama keluarga, lalu membagikannya,” ujarnya, Sabtu (22/02)
Sementara itu, Sumini, warga Kelurahan Mondokan, Tuban, juga mengaku selalu mengikuti megengan di musala dekat rumahnya. “Biasanya kami mengadakan doa bersama. Setelah itu, baru makan bersama dengan nasi berkat dan apem. Dengan begini, hati rasanya lebih tenang menyambut Ramadan,” katanya.
Sebagai sebuah tradisi yang sudah ada sejak zaman nenek moyang, megengan mencerminkan nilai-nilai spiritual dan budaya yang terus dijaga oleh masyarakat. Kata megengan sendiri berarti “menahan,” yang dalam konteks ini mengajarkan pentingnya menahan diri dari sifat-sifat tercela, seperti kesombongan dan merasa paling benar. Makna ini sejalan dengan esensi puasa Ramadan yang menuntut kesabaran, pengendalian diri, serta introspeksi.
Secara sejarah, megengan merupakan hasil akulturasi budaya Jawa dan Islam yang diperkenalkan oleh Wali Songo. Melalui tradisi ini, ajaran Islam dapat diterima secara lebih mudah oleh masyarakat setempat, dengan tetap mempertahankan unsur-unsur budaya yang sudah mengakar. Salah satu contohnya adalah keberadaan kue apem dalam megengan, yang bukan sekadar hidangan pelengkap, tetapi juga memiliki filosofi tersendiri.
Kue apem berasal dari kata afwan dalam bahasa Arab, yang berarti maaf atau ampunan. Sebutan ini kemudian disesuaikan dengan lidah masyarakat Jawa, sehingga menjadi apem. Hidangan ini dihadirkan sebagai simbol permohonan maaf kepada sesama serta permohonan ampun kepada Allah SWT atas segala dosa yang telah diperbuat. Diharapkan, dengan memohon ampun sebelum Ramadan tiba, umat Muslim dapat menjalankan ibadah puasa dengan hati yang bersih dan lapang.
Mengutip dari situs resmi Media Informasi Pesantren Tebuireng, penyajian apem dalam megengan bertujuan agar masyarakat dapat mengambil hikmah dari maknanya. Oleh karena itu, tradisi megengan di berbagai daerah umumnya diawali dengan tahlil dan istigasah di masjid atau musala. Setelah itu, masyarakat akan menikmati hidangan berupa nasi berkat dan apem secara bersama-sama, mempererat rasa kebersamaan dan kekeluargaan.
Megengan biasanya digelar pada minggu terakhir bulan Syakban sebagai bentuk rasa syukur karena dipertemukan kembali dengan Ramadan. Selain berkumpul di masjid, masyarakat juga memiliki tradisi nyekar, yakni berziarah ke makam keluarga atau leluhur untuk mendoakan mereka. Setelah itu, makanan khas megengan, termasuk apem, akan dibagikan kepada tetangga sebagai wujud kebersamaan dan saling berbagi berkah.
Tradisi megengan yang masih lestari hingga kini menunjukkan betapa eratnya hubungan antara budaya dan nilai-nilai keagamaan dalam kehidupan masyarakat Tuban. Lebih dari sekadar perayaan, megengan mengajarkan makna kebersamaan, introspeksi, dan kesiapan hati dalam menyambut bulan suci yang penuh berkah. (dadang bs/hei)