Kemarau 2025 di Tuban Diprediksi Lebih Pendek, Ini Penjelasan BMKG
- 14 April 2025 10:38
- Yolency
- Kegiatan Pemerintahan,
- 182
Tubankab - Musim kemarau tahun 2025 di Kabupaten Tuban diprediksi akan berlangsung lebih singkat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Berdasarkan informasi dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Stasiun Meteorologi Tuban, kemarau tahun ini diperkirakan lebih pendek antara satu hingga tiga dasarian atau sekitar 10 hingga 30 hari.
“Untuk musim kemarau tahun 2025 diprediksi lebih pendek 1–3 dasarian,” jelas Ketua Tim Kerja Daya dan Informasi BMKG Stasiun Meteorologi Tuban, Nursyamsi, Senin (14/04).
Nursyamsi menjelaskan, prediksi musim kemarau tahun 2025 yang lebih singkat disebabkan oleh keterlambatan awal musim kemarau dibandingkan kondisi normal. Ia menambahkan bahwa perubahan tersebut dapat dikenali melalui data perbandingan waktu awal kemarau di wilayah Tuban.
Diketahui, sebelumnya, BMKG telah memprediksi musim kemarau di Kabupaten Tuban akan dimulai secara bertahap sejak pertengahan April hingga awal Mei 2025. Wilayah seperti Bancar, Jatirogo, Kenduruan, dan Tambakboyo diperkirakan memasuki musim kemarau pada dasarian kedua April. Sementara wilayah lainnya, termasuk Bangilan, Grabagan, hingga Widang, diprediksi mulai mengalami kemarau pada dasarian ketiga April. Adapun Parengan, Senori, dan Soko diperkirakan menyusul pada dasarian pertama Mei.
BMKG menegaskan bahwa prediksi ini berdasarkan data curah hujan aktual yang dibandingkan dengan data normal musim periode 1991–2020. Kriteria awal musim kemarau sendiri ditentukan oleh curah hujan kurang dari 50 milimeter dalam satu dasarian dan diikuti oleh dua dasarian berturut-turut dengan kondisi serupa.
Sementara itu, melalui akun Instagram resminya (@infobmkg), BMKG Indonesia mengimbau masyarakat untuk mulai menghemat penggunaan air, menjaga kelestarian lingkungan, serta meningkatkan kesiapsiagaan menghadapi potensi bencana selama musim kemarau. Meski diprediksi berlangsung lebih singkat, risiko seperti kekeringan, kebakaran hutan dan lahan (karhutla), penurunan kualitas udara, dan keterbatasan sumber daya air tetap perlu diwaspadai, terutama di wilayah yang tergolong rawan. (yavid rp/hei)