Sejumlah OP di Tuban Tolak Omnibus Law Kesehatan, Ini Alasannya
- 28 November 2022 17:15
- Heri S
- Umum,
- 837
Tubankab - Sejumlah Organisasi Profesi (OP) seperti Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Ikatan Apoteker Indonesia (IAI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI) dan Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) di Kabupaten Tuban serentak menolak RUU Kesehatan Omnibus Law oleh badan Legislasi DPR.
Aksi penolakan terhadap RUU Omnibus Law Kesehatan tersebut dilakukan secara damai di sekretariat IDI Tuban di komplek Ruko Merak, Kecamatan Merakurak, Tuban, Senin, (28/11).
Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Tuban, dr A Syaifuddin Zuhri, SpOG membeberkan sejumlah poin dalam Rancangan Undang-Undang Kesehatan Omnibus Law (RUU Kesehatan) yang membuat mereka menolak pembahasan hal itu. Menurutnya, terdapat beberapa alasan yang membuat mereka menolak RUU Kesehatan Omnibus Law.
dr Zuhri sapaan akrabnya mengatakan, alasan pertama adalah lahirnya regulasi atau undang-undang harus mengikuti prosedur yang terjadi, yaitu terbuka kepada masyarakat.
Dalam pembahasan RUU Kesehatan Omnibus Law di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), IDI dan sejumlah organisasi profesi kedokteran menilai proses yang dilakukan melalui program legislasi nasional (Prolegnas) terkesan sembunyi, tertutup dan terburu-buru.
Selain itu, dr Zuhri menilai sikap pemerintah yang seolah tertutup membuat masyarakat tidak mengetahui apa agenda utama dalam pembahasan RUU Kesehatan Omnibus Law.
Alasan kedua, kata dr Zuhri, karena organisasi profesi kedokteran melihat ada upaya liberalisasi dan kapitalisasi kesehatan melalui RUU Kesehatan Omnibus Law. Menurutnya, jika pelayanan kesehatan dibebaskan tanpa kendali dan memperhatikan mutu, maka akan menjadi ancaman terhadap seluruh rakyat.
Alasan ketiga menurut dr Zuhri adalah soal penghapusan peran organisasi profesi dalam pengawasan, pembinaan, penerbitan rekomendasi dan Surat Tanda Registrasi (STR). Ia berpendapat, STR seluruh tenaga kesehatan itu harus diregistrasi di konsil masing-masing dan seharusnya dilakukan evaluasi setiap lima tahun sekali. (achmad choirudin/hei)