Kepercayaan Masyarakat Bejagung Pada Ritual Sumur Giling Masih Kental, Ini Buktinya
- 16 November 2022 15:56
- Heri S
- Umum,
- 2719
Tubankab - Masyarakat Tuban memiliki sebuah ritual khusus yang berkembang di kawasan Masjid Bejagung peninggalan Sayyid Abdullah Asy'ari bin Sayyid Jamaluddin Kubro atau lebih dikenal Sunan Bejagung. Ritual yang masih bertahan hingga sekarang ini adalah pengambilan sumpah di Sumur Giling.
Sumur Giling sendiri terletak di area sebelah selatan Masjid Bejagung Lor, tepatnya di Desa Bejagung, Kecamatan Semanding, Tuban. Masyarakat sendiri percaya bahwa sumur ini memberi keberkahan dan digunakan untuk membuktikan kebenaran. Ritual yang rutin digelar di tempat ini adalah siraman atau pemandian setiap Kamis Pon dan Jumat Wage. Kedua hari tersebut diyakini warga mampu membawa keberkahan rezeki, membuang kesialan dan mendatangkan keselamatan, serta yang paling terkenal adalah ritual untuk pengambilan sumpah.
Ahli Waris Mbah Pamor dan penjaga Sumur Giling, Aang Sutan, mengatakan, Sumur Giling dibangun oleh Kanjeng Sunan karena waktu itu terjadi kekeringan dan hampir tidak ada sumber air di sini.
Menurutnya, pada sekitar tahun 1980-1990-an di mana sumber informasi dan teknologi masih sangat minim di kawasan tersebut, ritual untuk mencari kebenaran dilakukan dengan cara spiritual, yaitu pemanfaatan media air Sumur Giling untuk mengambil sumpah kepada terdakwa sebuah kasus kala itu.
“Hal ini mampu bertahan bertahun-tahun bahkan hingga sekarang masih banyak masyarakat yang datang, baik karena kasus rumah tangga, harta gono-gini, hingga pencurian dan banyak kasus-kasus yang tidak bisa diselesaikan secara hukum formal,’’ jelasnya.
Kurator Museum Kambang Putih Tuban, Rony Firman Firdaus mengatakan, terkait dengan mitos kesakralan sumur ini memang sudah banyak yang membenarkan dan meyakininya. Secara mitologi masyarakat Jawa juga banyak yang mengistimewakan air, baik dalam sumur, sendang, sumber, bahkan hewan-hewan air.
Menurut Rony, bukan hanya Sunan Bejagung saja yang memiliki karomah berupa sumur, dalam sejarah wali yang lain juga banyak terdapat kemiripan cerita yang masih kental kaitannya dengan manfaat air untuk berbagai kepentingan masyarakat.
Pengamat budaya sekaligus Ketua Dewan Kesenian Tuban (DKT), Joko Wahono mengatakan, cerita kepercayaan masyarakat semacam ini bisa menjadi sesuatu yang positif, misalnya untuk menjaga alam dan lingkungan dari kerusakan akibat ulah manusia.
“Tapi juga harus ada upaya lebih dari pemerintah desa setempat, dalam bentuk upaya pelestarian melalui kebijakan-kebijakan yang tertulis," tutur Joko.
Ia melanjutkan, pemerintah desa bisa lebih berkonsentrasi untuk melestarikan nilai-nilai budaya warisan leluhur seperti ini dengan cara membentuk lembaga adat desa. Secara legalitas, menurut Joko, hal ini akan lebih diakui oleh hukum formal yang sudah ada dan berlaku di Indonesia. (m nahrussodiq/hei)