“PEWARIS” BATIK, DULU MALU SEKARANG MAU
- 16 February 2016 10:11
- Yolency
- Umum,
- 1072
Tubankab - Sejak batik Indonesia mulai diakui keberadaannya oleh dunia internasional, kini para pembatik tradisional mulai mau menggeluti dan melestarikannya.Bahkan, para pembatik asal Kabupaten Tuban pun tak mau ketinggalan, meski hanya sekadar turut memberikan corak dan warna yang khas Bumi Ronggolawe. Berikut Laporannya.
Sejumlah ibu dan perempuan asal Desa Kedungrejo, Kecamatan Kerek,Kabupaten Tuban, ini tengah asyik membatik di sebuah sanggar batik tenun gedog yang mereka dirikan beberapa waktu lalu.Padahal, aktivitas seperti ini jarang terlihat, namun setelah batik mendapatkan pengakuan dunia internasional, mereka mulai bergairah kembali guna menggeluti dan melestarikannya.Bahkan, para perempuan dulunya malu membatik karena aktvitas tersebut dianggap “kuno”, namun kini berubah menjadi “mau”, setelah bisa menghasilkan pundi-pundi rupiah yang cukup menggiurkan.
Hanya berbekal ketekunan dan keuletan, sejumlah ibu rumah tangga desa setempat sudah mampu menciptakan berbagai macam motif batik khas Tuban dalam bentuk kain maupun pakaian jadi, antara lain kawung, lotrok, dan parang rusak. Motif batik Tuban ini banyak disukai karena mempunyai ciri khas yang berbeda dengan batik-batik di kota lain.
Bagi ibu-ibu yang tergabung dalam wadah sanggar ini, membatik tidak hanya sekedar melestarikan budaya warisan leluhur nenek moyang mereka, akan tetapi juga mampu memberikan nilai ekonomis keluarga.Pasalnya, dengan membatik, bisa meningkatkan kesejahteraan keluarga dan bisa membantu suami yang rata-rata bekerja sebagai seorang pesanggem.
Menurut Musriah, salah seorang pembatik, sebenarnya mulai membatik sejak tahun 90-an.Namun,dulunya tidak begitu aktif dan bahkan sekadar memanfaatkan waktu luang.Namun, setelah mendengar batik diakui sebagai hasil karya asli Indonesia, barulah semangat bergelora tumbuh untuk mengeluti dunia batik.”Ya, mungkin ada kebanggaan mas, batik Indonesia bisa dikenal di seluruh dunia, sehingga kami dan warga sini kini tengah menggeluti dunia batik,’ tukasnya.
Keahlian membatik, lanjut Musriah, didapatkan sejak kecil dari warisan orangtuanya.Dia bersama ibu-ibu lainya bertekad melestarikan batik khas Tuban ini agar tidak punah hanya karena menurunnya minat generasi muda.”Memang batik perlu dilestarikan dan diwariskan agar tidak punah,’’ ujar wanita lugu ini.
Dalam satu bulan Musriah bersama kelompoknya mampu menghasilkan hampir 700 lembar batik dengan berbagai motif dan ukuran.Hasil seni dari jemari pembatik tersebut dipasarkan ke berbagai daerah, seperti Semarang, Kudus, Madura, hingga ke Kalimantan dan Bali.Harga per lembarnya dijual antara Rp. 100.000 hingga Rp. 300.000, tergantung motif dan ukurannya.
Para pembatik desa setempat ingin Pemkab Tuban mau memberikan perhatian yang lebih kepada mereka, agar nantinya kerajinan batik di bumi wali bisa tumbuh dengan pesat.Paling tidak, para pembatik diikutsertakan setiap kali ada pameran batik di luar daerah atau bahkan melakukan studi banding ke kota lain, untuk menambah pengetahuan dalam dunia perbatikan.
Sementara itu, berbeda dengan ratusan wanita di Desa Leran Kulon, Kecamatan Palang, Kabupaten Tuban. Mereka dulunya menggemari membatik.Namun, kini seiring dengan perkembangan zaman, mereka mulai meninggalkannya.Bahkan, kini tinggal hitungan jari wanita yang masih menggelutinya.
Sekitar dua puluh tahun silam, kampung setempat dikenal sebagai kampung batik.Pasalnya, sebagian besar wanita atau ibu-ibu rumah tangga menggeluti membatik sebagai mata pencaharian maupun sebagai klangenan.
Namun, kini tidak lagi. Ratusan wanita yang biasanya membatik di depan rumah, kini jarang dijumpai lagi. Sedikit demi sedikit, mereka mulai meninggalkan membatik. Kendati demikian, masih ada segelintir orang yang masih survive menghidupkan kembali budaya asli Indonesia itu. Salah satunya adalah Basuri. Wanita berusia hampir setengah abad ini masih menekuni membatik, meski tetangganya mulai hengkang ke profesi lain.Banyak di antara warga yang beralih profesi menjadi buruh tani dari pada menekuni batik yang kata mereka tidak sepadan dengan pendapatan yang mereka peroleh.”Memang banyak yang beralih profesi, karena kurang sabar menekuninya.Mereka menganggap membatik pekerjaan yang ribet,’’ aku Basuri.
Namun, bagi Basuri membatik merupakan hobinya yang tak bisa ditinggalkan. Meski tetangganya mulai enggan mewarisi peninggalan nenek moyang tersebut, dirinya tetap konsisten dengan profesinya itu.Selain itu, dia menekuni batik karena tak bisa melakukan pekerjaan lain selain membatik.
Basuri, merupakan salah satu dari segelintir orang di desa tersebut yang mampu bertahan dan melestarikan batik.Padahal, juga tak banyak pesanan dari hasil kerajinannya tersebut. Namun, karena kecintaan terhadap batik, wanita yang belajar membatik sejak usia 30 tahun ini tetap saja menekuni profesinya itu. Sudah banyak motif batik yang mereka tuangkan di atas kain kafan.Seperti, namkatil, rawan dan pecah kopi.
Biasanya, para pembeli datang sendiri ke rumahnya. Bahkan, turis asing sempat tertarik dan membeli hasil karyanya.Memang, hasil karya Basuri ini agak mahal dengan hasil karya batik tetangganya.Dia menjual seharga Rp.400.000 setiap helai kain batik.”Saya jual lebih mahal karena buatan saya memang lebih baik,’’ lontar Basuri bangga, seraya menunjukkan batik hasil buatannya.
Wanita dua anak ini hanya bisa berharap agar pemerintah memberikan modal dan mencarikan pemasaran, agar minat dan kemauan warga sekitar kembali muncul dan bisa menghidupkan kembali perekonomian warga sekitar.(wan/hei)