PAGELARAN WAYANG KULIT, WIDARTO : JIWA NASIONALISME TERKIKIS AKIBAT KAPITALISME
- 02 December 2017 23:05
- Heri S
- Kegiatan Pemerintahan,
- 1170
Tubankab - Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Timur menggelar pagelaran wayang kulit semalam suntuk di Desa Beji, Kecamatan Jenu, Kabupaten Tuban, Sabtu (02/12) malam. Pertunjukan kesenian tradisional tersebut digelar untuk melestarikan kebudayaan dan membangkitkan kecintaan masyarakat terhadap wayang kulit yang mulai terkikis oleh budaya asing.
Acara yang bertajuk ‘Apresiasi Wayang Kulit’ ini, juga dijadikan sebagai perayaan memperingati Hari Jadi Provinsi Jawa Timur yang ke-72 dan Hari Jadi Kota Tuban ke-724.
Kepala Dinas Pariwisata Kebudayaan Pemuda dan Olahraga (Disparbudpora) Kabupaten Tuban Drs. Sulistyadi yang hadir pada acara tersebut dan membacakan sambutan tertulis Bupati Tuban H. Fatchul Huda menyampaikan, pagelaran wayang yang akan dibawakan oleh Ki Dalang Rudi Gareng tersebut dapat menjadi tuntunan dan manfaat bagi masyarakat, serta tidak sekadar sebagai tontonan semata. Sebab, imbuh Didit, sapaan akrab Sulistyadi, lakon ‘Bima Brengkes’ yang akan dibawakan sarat akan makna kehidupan dan nilai-nilai kebenaran.
"Alhamdulillah malam ini Dinas Pariwisata Provinsi Jatim hadir untuk menghibur kita semua. Semoga kita bisa memperoleh pelajaran dari pagelaran ini," harap mantan Kepala Bagian Humas dan Protokol Setda Kabupaten Tuban ini.
Sementara itu, Kepala Bidang Destinasi Pariwisata pada Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Timur Widarto S.S. M.M saat membacakan sambutan tertulis Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Timur berpesan, persoalan perilaku dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara adalah mulai terkikisnya jiwa nasionalisme yang diakibatkan oleh kapitalisme dan individualisme.
"Budaya bangsa Indonesia terlahir dari kristalisasi nilai luhur, gotong royong, menjunjung tinggi nilai etika dan estetika, kini mulai terkikis oleh sifat individualis," ungkapnya.
Lebih jauh Widarto menjelaskan, karakter dan kepribadian bangsa Indonesia saat ini tengah mendapat ujian besar, karena perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah membuat budaya yang pada dasarnya berfungsi untuk merajut dan menyelaraskan kehidupan pada masyarakat, telah kalah cepat perkembangannya dibandingkan dengan arus globalisasi.
"Bangsa kita yang dulu dikenal santun, ramah, toleran dan berjiwa gotong royong, kini telah berubah menjadi bangsa yang mudah marah dan cenderung mengabaikan nilai kemanusiaaan," beber Widarto.
Namun demikian, Widarto tetap mengakui bahwa pagelaran wayang kulit merupakan bagian dari pelestarian budaya di mana telah diakui oleh badan dunia, yakni UNESCO. Sehingga, pengakuan tersebut menumbuhkan rasa bangga atas martabat bangsa, sekaligus membawa konsekuensi untuk melestarikan, serta menanamkan nasionalisme bagi generasi penerus.
"Oleh karena itu, saya harap pegelaran ini dapat menjadi sumber inspirasi, dan edukasi bagi masyarakat untuk mengambil nilai-nilai filosofi yang luhur dan diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari," harap Widarto.
Sementara itu, anggota Komisi D DPRD Provinsi Jawa Timur Agus Maimun yang turut hadir, berpendapat sama. Menurutnya, masyarakat perlu melestarikan seni dan budaya leluhur. Pasalnya, era sekarang anak-anak mulai dari TK sampai sekolah lanjut, masih sedikit yang mengerti dan tahu akan wayang.
"Mari kita uri-uri budaya yang luhur ini, dan petik pesan moral di dalamnya," ajak pria asal Tuban ini. (nanang wibowo/hei).