TUBAN ALAMI BENCANA HIDROMETEOROLOGIS HAMPIR 80 PERSEN
- 22 September 2016 13:15
- Heri S
- Kegiatan Pemerintahan,
- 634
Tubankab - Bencana di Kabupaten Tuban dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan. Parahnya, selama tiga tahun belakangan ini, hampir 80 persen bencana merupakan bencana hidrometeorologis atau terkait dengan air dan cuaca.
Asisten Pemerintahan Sekda Tuban, Drs. Achmad Amin Sutoyo mengungkapkan bahwa bencana hidrometeorologis tersebut akan semakin meningkat seiring dengan perubahan iklim global. “Potensi banjir, kekeringan, kebakaran hutan, longsor dan gelombang pasang, ke depan akan cenderung mengalami kenaikkan, kita harus meningkatkan kewaspadaan” ujar Amin saat membuka Sosialisasi Pengelolaan Sungai Bagi Aparatur dan Masyarakat dalam Rangka Gerakan Nasional Pengurangan Resiko Bencana Tahun 2016 di Gedung Korpri Komplek Pendopo Kridho Manunggal Tuban, Kamis (21/09).
Dia menjelaskan, ada berbagai potensi ancaman yang memang sering melanda wilayah Kabupaten Tuban, baik yang bersifat alam maupun non alam, bahkan potensi ini cukup besar. Berdasarkan hasil kajian resiko bencana yang dilakukan oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pada tahun 2013 menyebutkan bahwa nilai indeks risiko bencana untuk Kabupaten Tuban mencapai skor 175.
“Skor tersebut termasuk kelas risiko bencana tinggi, bahkan wilayah Tuban menempati urutan 145 dari 496 Kabupaten / Kota se Indonesia yang rawan terhadap risiko bencana,” tambahnya.
Menurut Amin bencana hidrometeorologi di Tuban terjadi karena Bumu Wali dilalui oleh Bengawan Solo di mana keberadaannya selain memberi manfaat dan barokah bagi perkembangan pertanian di sekitar daerah aliran sungai, juga merupakan potensi ancaman terjadinya banjir akibat luapan air bengawan solo ,yang saat ini seolah menjadi kejadian rutin tahunan yang harus dihadapi bersama.
Selain itu, lanjutnya, kondisi geografis yang memiliki pegunugan kapur juga memiliki potensi ancaman terjadinya banjir bandang, bahkan dalam tiga tahun terakhir kejadian bandang lebih sering terjadi dibandingkan kejadian banjir akibat luapan air sungai terpanjang di pulau Jawa itu.
“Parahnya lagi, kerusakan alam yang mengakibatkan adanya potensi bencana disebabkan besarnya pengaruh manusia itu sendiri,” tandas asisten.
Untuk mengurangi risiko bencana dan potensi kerugian ekonomi akibat bencana di masa yang akan datang, terangnya, perlu dipromosikan Gerakan Nasional Pengurangan Risiko Bencana. Gerakan ini akan menjadi bagian dari komitmen untuk melaksanakan revolusi karakter bangsa, yang salah satunya adalah dengan menciptakan budaya aman (safety culture). Gerakan ini akan berinvestasi pada sumber daya manusia melalui peningkatan kesadaran dan mobilisasi massa untuk peningkatan manajemen risiko bencana (Sendai Framework For Disaster Risk Reduction).
Lebih jauh Amin menjerlakan, selama ini pemahaman yang ada disebagian besar masyarakat adalah bahwa upaya penanggulangan bencana hanya ada pada saat terjadi bencana. Menurutnya hal ini tidak tepat, karena penanggulangan bencana merupakan rangkaian yang tak terpisahkan dari mulai tahap sebelum, saat terjadi dan setelah terjadinya bencana.
“Siapapun tidak menginginkan terjadinya bencana, tetapi kita harus mempersiapkan diri kita semaksimal mungkin sehingga ketika bencana terjadi, maka risikonya dapat diminimalisir bahkan jika mungkin dapat dihilangkan,’’ujarnya.
Dia mengutarakan, kejadian bencana merupakan kejadian lintas ruang dan waktu. Oleh karena itu, upaya penaggulangannya tidak dapat dilakukan oleh pemerintah, tetapi keterlibatn masyarakat dan dunia usaha merupakan komponen yang wajib ikut terlibat dalam upaya pengurangan risiko bencana.
Saat ini, imbuhnya, ada opini negatif di masyarakat, di mana dengan adanya BPBD seolah-olah upaya penanggulangan bencana merupakan tanggung jawab dan kewajiban pemerintah saja. Padahal dengan terbentuknya BPBD diharapkan masyarakat akan semakin sadar dengan perannya dalam setiap tahap penanggulangan bencana.
“Kadang masyarakat tidak sadar, apabila terjadi bencana maka yang terkena dampak pertama kali adalah masyarakat itu sendiri. Oleh sebab itu sudah menjadi keharusan bagi masyarakat untuk mengetahui tindakan apa yang harus dilakukan apabila bencana terjadi,” ucap Amin.
Amin mengungkapkan, salah satu peran masyarakat adalah dengan mengoptimalkan gerakan-gerakan dari komunitas atau relawan sungai yang berasal dari masyarakat itu sendiri. Adapun beberapa komunitas sungai yang telah terbentuk di beberapa wilayah yang bangkit memecah kebuntuan dengan menginisiasi gerakan restorasi sungai Indonesia. Gerakan ini, lanjutnya, untuk menyelamatkan dan mengembalikan sejauh mungkin sungai pada kondisi alamiahnya yang bersih, sehat, produktif dan lestari serta bermanfaat semaksimal mungkin bagi manusia dan lingkungannya secara berkelanjutan. (ddg/hei)