MERDUNYA ALUNAN SUARA GAMELAN, TAK ‘SEMERDU’ SUARA PENGLARASNYA
- 01 March 2016 10:11
- Yolency
- Umum,
- 2160
Tubankab - Tidak bisa dipungkiri, seperti di daerah lainnya, Kabupaten Tuban merupakan salah satu daerah yang menjadi “Gudang” pementasan seni tradisional tayuban, atau lebih dikenal sindir. Barangkali, hampr bisa dikatakan tiap saat, ada pementasan, baik tanggapan perseorangan, hajatan maupun acara-acara khusus yang diselenggarakan di pelosok-pelosok desa.
Tidak salah kalau alunan dari alat musik (gamelan) yang rata-rata diperkeras dengan sound system tersebut sangat akrab di telinga masyarakat. Namun, siapa sangka kalau warga Kabupaten Tuban yang mempunyai kepandaian ngelaras (nyetem) alat musik tradisonal ini jumlahnya kian langka. Bahkan beberapa tahun terakhir ini tinggal seorang nama yang menjadi “jujugan” pemilik peralatan tersebut, yakni Sarmidi, warga Kelurahan Sidorejo, Kecamatan Kota, Kabupaten Tuban.
“Tidak hanya dari Tuban, yang meminta jasa mengelaras alat gamelan. Tetapi juga dari luar kota,’’ tukas Sarmidi saat ditemui reporter Tubankab di rumahnya, Selasa (01/03).
5 atau 10 tahun lalu, tutur bapak berputra dua ini, sedikitnya ada 3 orang yang bisa dikatakan pintar ngelaras, yakni Khusaeri, yang juga kakek Sarmidi, Kurdi dan Sardikun. Namun, usia ketiganya sudah udzur, bahkan ada yang meninggal dunia. Keahlian itu tinggal dimiliki dia seorang. “Keahlian ngelaras ini aku dapatkan saat bekerja di bengkelnya Khusaeri,’’ ujarnya.
Di rumahnya yang berhalaman cukup luas ini terdapat beberapa alat musik gamelan bercampur dengan potongan-potongan besi, seperti tempat tidur bekas. Barang-barang bekas ini, lanjut Sarmidi, digunakan untuk menambal ataupun mengelaras alat musik dari jenis kenong, demung hingga gong yang berbahan besi.
Sarmidi mengaku, tidak bisa menuturkan secara detil bagaimana proses belajarnya sehingga dirinya mempunyai kepandaian yang cukup langka ini. Dia mengaku hanya belajar dan belajar begitu saja.
Sarmidi sendiri mempunyai sebuah grup karawitan, maupun seperangkat gamelan yang disewakan. Meski dirinya tidak terlalu pandai menjadi niyaga (pemain gamelan), dia sering diajak manggung oleh para seniman. Bahkan, dia juga merekrut sejumlah seniman yang kekurangan job.
Nama Sarmidi bersama grupnya sedikit demi sedikit mulai dikenal warga Tuban. Namun, diakuinya sendiri, kepandaianya ngelaras gamelan ini merupakan salah satu penguat sehingga grup kawawitan yang didirikannya ini semakin malang melintang, seiring dengan semakin banyaknya pementasan seni tayub di pelosok-pelosok desa. “Karena seringnya alat gamelan untuk digunakan tanggapan, maka banyak pemilik peralatan yang perlu jasa servis,’’ lontarnya.
Menurutnya, insting atau keahlihan untuk mengukur nada memang tidak bisa dipelajari oleh setiap orang, termasuk niyaga atau pengrawit yang tiap hari berhadapan dengan peralatan gamelan. Terbukti, banyak niyaga datang ke rumahnya yang membutuhkan jasanya. “Sulit saya ceritakan, pengrawit saja, tidak bisa mengelaras,’’ katanya seraya tersenyum.
Yang agak janggal belakangan ini, meski jumlah pementasan seni karawitan cukup padat, ternyata permintaan jasa ngelaras terus menurun. Menurut Sarmidi, saat ini paling banter dua atau tiga kali sebulan dia kedatangan “job”. Dia menduga, pemilik alat karawitan lebih mendahulukan tanggapan dari pada merawat alat musiknya. Padahal menurut Sarmidi, kalau nada dari alat musik gamelan tidak pas bunyinya, akan terasa aneh. “Memang tidak semua orang bisa memperhatikan nada-nada. Mungkin juga pemilik alat kesulitan untuk meluangkan waktu karena banyaknya job,’’ tandas Sarmidi yang mengaku rata-rata diperlukan satu minggu untuk mengelaras sebuah alat musik gamelan.
Soal tarif, Sarmidi mengaku tidak mematok harga. Honor sebesar Rp.200 ribu hingga Rp. 300 ribu tiap satu set alat musik tersebut disebutnya sebagai tarif “kekeluargaan”. Artinya, tarif bisa naik turun tergantung kondisi.” Ya, pokoknya sekitar angka itulah karena saya dan pemilik gamelan sering bertemu,’’ tuturnya sambil mengepulkan rokok kreteknya.
Karena kepandaiannya yang begitu langka tersebut, tidak hanya pemilik gamelan asal Tuban saja yang memerlukan jasanya, tapi juga dari luar daerah, seperti Lamongan, Bojonegoro dan Nganjuk. Saat ditanya kenapa sampai penglaras dari luar daerah menjadi “pasiennya” ? Sarmidi mengaku karena mereka sudah cocok dengan garapannya. Namun, Sarmidi menilai bahwa kemampuannya tidak lebih menonjol dibanding penglaras lain dari luar kota.
Keahlihan Sarmidi Tidak Ada Yang Meneruskan
Gaya Sarmidi yang akrab, tidak beda jauh dengan warga Kelurahan Sidorejo lainya. Sebutan seniman itu baru kentara tatkala seseorang mulai masuk halaman rumahnya. Dari jauh seperangkat alat gamelan yang bakal dia servis, sebagian teronggok di rumahnya. Di sisi lain, teronggok besi bekas. Di belakang rumahnya tampak bengkel yang menyerupai pande.
Dari benda-benda keras yang kelenturannya diatur dengan bara api inilah, membuat perangkat gamelan yang nadanya “salah” menjadi normal. Tidak hanya itu, warna alat berbahan logam yang sebelumnya kusam, berubah menjadi kinclong, seperti barang baru. Namun, kepandaian seperti ini dari tahun ke tahun ahlinya bisa dihitung dengan jari.
Satu obsesi Sarmidi yang belum kesampaian saat ini adalah menularkan kepandaiannya kepada anak-anaknya atau anggota keluarga yang lain. Sehingga, keahlian ngelaras peralatan gamelan ini masih tetap ada yang mewarisinya atau melestarikannya. Pasalnya, dua anak hasil pernikahannya dengan isterinya, Sudarmi, semuanya perempuan. Padahal, dunia ngelaras, menurutnya, sering dilakukan kaum pria karena suasana bengkel yang kotor, hembusan api, palu, besi dan bunyi-bunyian yang memekikkan telinga, maupun peralatan berat lainnya.
Oleh karena itu, Sarmidi tidak bisa berharap banyak untuk menularkan kepandiannya itu ke anak-anaknya. Dia mengaku bekerja seperti biasanya tanpa bisa berharap orang lain ikut membantu menekuni pekerjaaanya. “Dua anak perempuan saya punya bakat seni yang lain, dan saya tak bisa memaksakan kehendak mereka,’’ pungkas ayah dari Sri Wahyuni dan Aniswati ini. (wan/hei)